At-Tauhid Edisi 16/1
Ziarah kubur terbagi menjadi dua jenis :
1) Ziarah kubur yang dituntunkan oleh syariat.
Semisal perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi pekuburan Baqi’ dan kuburnya para syuhada’ Uhud.
2) Ziarah kubur yang tak dituntunkan.
Semisal ziarah kubur yang mirip dengan perbuatan pelaku kesyirikan, yang mana mereka meminta hajat dan pertolongan kepada mayit di kuburan.
“…Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan (para nabi dan orang-orang shalih dari mereka) sebagai masjid, maka janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan itu sebagai masjid…”
(H.R. Muslim no. 532).
Maksudnya adalah melakukan peribadahan di kuburan layaknya ibadah seseorang di masjid. Di antara bentuk menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah :
1. Melakukan salat dan sujud di atasnya
2. Salat ke arah kuburan
3. Menjadikan kuburan berada di dalam suatu bangunan, dan bangunan itu adalah masjid.
Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Al-Harrani rahimahullah ditanya mengenai ziarah kubur yang disyariatkan. Beliau rahimahullah menjawab, “Perlu diketahui bahwa ziarah kubur ada dua bentuk: ziarah kubur yang disyariatkan dan ziarah kubur yang jauh dari tuntunan Islam.”
Ziarah kubur yang disyariatkan
Contoh dari ziarah kubur yang disyariatkan adalah mendoakan si mayit, sebagaimana dibolehkan juga melaksanakan shalat jenazah untuknya. Dasar dari hal ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menziarahi kubur Baqi’ dan kubur pada syuhada’ Uhud.
Kemudian beliau mengajari para sahabatnya, jika mereka menziarahi kubur hendaklah membaca doa, “Semoga keselamatan bagi kalian wahai negeri (peristirahatan sementara) kaum mukminin, dan kami insya Allah akan bertemu kalian. Semoga Allah merahmati kalian yang lebih dahulu dari kami dan kami pun akan menyusul kalian. Kami memohon pada Allah keselamatan pada kami dan kalian. Ya Allah, janganlah halangi ganjaran bagi mereka. Janganlah beri siksaan kepada mereka setelah itu. Ampunilah dosa-dosa kami dan mereka.”
Ziarah kubur yang jauh dari tuntunan Islam
Ziarah kubur yang jauh dari tuntunan Islam adalah ziarah kubur yang dilakukan oleh pelaku kesyirikan. Ziarah jenis ini sejenis dengan ziarah kubur yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani. Mereka memaksudkan doa pada mayit dan beristi’anah (memohon pertolongan) melalui mayit yang ada di dalam kubur. Berbagai hajat diminta melalui perantaraan penghuni kubur. Mereka pun salat di sisi kubur dan berdoa melalui perantaraan si mayit.
Perbuatan semacam ini sama sekali tidak pernah dilakukan oleh ulama masa silam dan para imam mazhab. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencegah agar tidak memasuki pintu kesyirikan dengan melakukan perbuatan semacam ini.
Dalam hadits yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata di saat sakit menjelang wafatnya, “Sungguh Allah melaknat orang Yahudi dan Nashrani yang telah menjadikan kuburan Nabi mereka sebagai masjid (layaknya tempat ibadah). Dia telah memperingatkan apa yang mereka perbuat.” Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Seandainya bukan karena sabda beliau ini, tentu kubur beliau akan ditampakkan di luar rumah. Sungguh dilarang jika ada yang menjadikan kuburannya sebagai masjid.” (H.R. Bukhari no. 1390, 4441, dan Muslim no. 529).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lima hari sebelum beliau wafat “Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan (para nabi dan orang-orang salih dari mereka) sebagai masjid, maka janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan itu sebagai masjid, karena sungguh aku melarang kalian dari hal itu.” (H.R. Muslim no. 532).
Dari sini, kita dapat melihat bahwa ziarah bentuk pertama yang disebutkan di awal termasuk jenis amalan yang dituntunkan dan merupakan bentuk ihsan (berbuat baik) terhadap sesama. Ziarah bentuk pertama tersebut dapat mensucikan hati sebagaimana yang Allah perintahkan (agar berziarah kubur untuk mengingat kematian).
Sedangkan ziarah bentuk kedua termasuk bentuk kesyirikan kepada Allah dan termasuk tindak kezaliman karena tidak menempatkan hak Allah dan hak hamba dengan benar. Dalam hadits yang sahih dikatakan,“Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, saat Allah menurunkan ayat (yang artinya): “Orang-orang beriman yaitu mereka yang tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman” (Q.S. Al-An’am: 82)”.
Ketika mendengar ayat tersebut, para sahabat pun menjadi gelisah. Mereka pun bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Lantas siapakah –wahai Rasul- yang tidak berbuat zalim pada dirinya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya yang dimaksud zalim dalam ayat tersebut adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar perkataan seorang hamba yang salih (yang artinya), “Sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang paling besar?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah.”
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr’.” (Q.S. Nuh: 23).
Para ulama salaf mengatakan, “Berhala-berhala yang disebutkan dalam ayat tersebut dulunya adalah orang-orang salih dari kaum Nuh. Ketika mereka mati, kaum Nuh beri’tikaf di kubur mereka dan mereka membuat patung-patung yang menyerupai mereka di tempat ibadah mereka. Inilah awal penyebab penyembahan berhala.”
Apa yang dimaksud menjadikan kubur sebagai masjid?
Dalam perkataan lainnya, Ahmad bin Abdul Halim Al-Harrani rahimahullah menjelaskan, “Menjadikan suatu tempat sebagai masjid adalah menjadikan salat lima waktu dan ibadah lainnya di tempat tersebut sebagaimana ibadah-ibadah tersebut diadakan di masjid.”
Jadi tempat yang dijadikan sebagai masjid adalah tempat yang dimaksudkan untuk beribadah pada Allah dan berdoa kepada-Nya, dan bukan khusus doa tersebut ditujukan pada makhluk. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal semacam ini yaitu menjadikan kubur mereka sebagai masjid dengan maksud melakukan salat di sana sebagaimana ibadah yang dilakukan di masjid. Walaupun orang yang melakukan ibadah di kubur tersebut memaksudkannya sebagai ibadah kepada Allah semata. Ini tetap terlarang dengan maksud agar tidak terjerumus dalam keharaman yang lebih parah.
Kecuali jika memang orang tersebut menjadikan ibadah di sana ditujukan pada penghuni kubur, berdoa untuknya, menjadikannya sebagai perantara dalam berdoa dan berdoa di sisi kubur, (yang semacam ini jelas terlarangnya, pen). Intinya perbuatan menjadikan kuburan sebagai masjid (yaitu untuk beribadah kepada Allah semata) itu terlarang sebagaimana dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dilarang karena dapat mengantarkan pada syirik pada Allah. Perlu diingat bahwa setiap perbuatan yang bisa mengantarkan pada mafsadat (bahaya) dan tidak ada maslahat yang dominan, maka hal tersebut terlarang.” [Majmu’ Al-Fatawa, 1/163]
Dalam kesempatan yang lain, beliau rahimahullah juga berkata, “Tidak ada silang pendapat di antara para ulama salaf dan ulama-ulama besar yang ada mengenai terlarangnya menjadikan kubur sebagai masjid. Seperti dimaklumi bersama bahwa masjid dibangun untuk salat, zikir, dan membaca Al-Qur’an. Jika kubur difungsikan untuk sebagian ibadah-ibadah tadi, maka ini termasuk dalam larangan menjadikan kubur sebagai masjid.” [Majmu’ Al-Fatawa, 24/302]
Ulama lain menjelaskan bahwa ada tiga bentuk menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah:
Pertama : Menjadikan kuburan itu sebagai tempat sujudnya. Bentuk yang paling bisa dipahami dari perkataan “mereka menjadikan kuburan tersebut sebagai masjid” ialah menjadikan kuburan sebagai masjid. Yaitu tempat melakukan salat dan sujud di atasnya. Demikian ini jelas merupakan sarana yang sangat berbahaya, dan paling merusak yang mengantarkan kepada syirik dan berlaku ghuluw kepada kuburan.
Kedua : Salat ke arah kuburan. Makna menjadikan kuburan sebagai masjid dalam bentuk ini, yaitu seseorang shalat di hadapan kuburan dengan menjadikannya sebagai kiblatnya. Dengan kondisi ini, dia telah menjadikan kuburan sebagai tempat ia merendahkan dan menghinakan dirinya.
Ketiga : Menjadikan kuburan berada di dalam suatu bangunan, dan bangunan itu adalah masjid. Jika yang dikubur itu seorang nabi, maka mereka membuat bangunan di atasnya. Mereka lantas menjadikan di sekeliling kuburan itu sebagai masjid dan menjadikan tempat itu sebagai tempat beribadah dan salat.
Akhir kata semoga sajian yang singkat ini bisa jadi renungan bagi yang ingin meraih hidayah. Hanya Allah Dzat yang memberi taufik.
Ditulis oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, S.T., M.Sc.